"Akan lebih baik jika aku menjadi wanita panggilan saja. Rasanya tidak akan sesakit ini." Saya hanya melongo. "Wanita panggilan hanya datang saat diperlukan. Menyenangkan pemanggil. Selesai. Tak akan ada rasa. Tak akan ada sakit."
"Seperti dulu pernah, seorang teman seprofesi yang telah beristri, menjadikan aku sebagai wanita panggilannya. Seringkali aku ditelfon hanya untuk melepaskan kegalauannya. Dia merasa sangat nyaman dengan aku. Tidak hanya curhat, aku bahkan pernah menemaninya sampai dia mencapai klimaks." Saya melongo dua kali. "Perasaanku saat itu flat dan tidak terasa apa-apa. Saat itu aku memang memposisikan diri sebagai wanita panggilan."
"Tapi sekarang, dengan pria ini. Dia lain. Tidak seperti pria-pria lain yang datang memanggilku di saat mereka butuh. Meskipun statusnya hampir mirip dengan mereka. Dia berkekasih." Saya menghela napas. "Kurasa aku harus cepat memprogram perasaanku sebagai gadis panggilan saja. Jika tidak, akan terasa sangat sakit. Sekarang saja, aku sudah merasa sakit saat membayangkan apa yang dilakukanny a dengan kekasihnya ketika sedang tidak bersamaku. Membuat sesak."
"Sebagai wanita, aku pernah berperan sebagai lakon gadis yang ditinggal kekasihnya. Harusnya akan sangat sakit terasa oleh kekasih pria itu jika dia ditinggal pergi kekasihnya. Meskipun dulu aku juga nggak sedih-sedih amat ketika ditinggal. Harusnya aku mengerti. Dan bukannya malah merasa sakit membayangkan mereka berdua. Perasaan ini sudah tidak benar, dan aku harus berhenti."
"Sudah kuputuskan, aku akan menjadi gadis panggilan saja untuknya. I am single and available, anyway."
#Obrolan di suatu sore
2 comments:
hemm mencoba mencermati tulisan ini..
ada banyak multitafsir disini ^_^
B)
Sok misterius ni, Pak ceritanya,,,
heheh
Post a Comment