Sing tatag bakal tutug (yang
tangguh akan sampai pada tujuannya).
Sms singkat dari Bapak itu selalu menguatkanku. Kalimat singkat yang dalam makna. Kalimat itulah yang
mungkin selalu membuatku tangguh. Di antara beban kuliah, organisasi dan
pekerjaanku.
Mirip Lotus |
Namaku Nimas Mayang Sabrina S. Orang-orang di
sekelilingku biasa memanggilku May. Usiaku dua puluh tiga tahun. Aku kuliah di
salah satu perguruan tinggi negeri di Malang, Jawa Timur. Semester akhir.
Sebentar lagi aku akan menjadi seorang sarjana. Sarjana Teknologi Pertanian.
Kalau aku seumur Bapak dan Mami, aku pasti akan dipanggil Bu insinyur.
Menjelang kelulusanku yang tinggal satu langkah ini,
kembali berputar banyak kenangan dalam layar putih ingatanku. Banyak fragmen
dalam perjalananku. Kerja keras, sahabat, tawa, canda, tangis, bahagia.
Semester pertama, kuliah kulalui dengan biasa-biasa saja.
Tinggal di kontrakan putri dengan aktifitas biasa. Belajar, kuliah, praktikum,
rapat organisasi, pulang ke kontrakan, tidur. Begitu saja setiap hari. Dan sebagai
anak seorang guru SD biasa, aku harus benar-benar hemat dan hidup bersahaja. Kiriman
uang dari gaji Mami harus aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sedang dari Bapak,
kami biasa tidak terlalu berharap.
Kondisi ini kusyukuri dengan berjuang keras. Memang, Mayang
adalah perjuangan tanpa henti-henti. Seperti lagu Dewa. Keadaan mencapai puncak
saat aku berhasil meraih IP tertinggi sefakultasku. Mami dan Bapak tentu
bangga. Dengan kabar gembira itu, aku ringan menghubungi Mami di rumah. Mami
senang. Bahagia. Tapi kala itu tak kutemui Bapak.
Malam harinya Bapak menghubungiku. Mengucapkan selamat
dan bercerita tentang keadaan rumah. Cerita Bapak malam itu membuatku
tercenung. Cerita yang tak dibeberkan Mami ketika aku telpon tadi pagi. Cerita
yang melelehkan mataku. ”Motornya dijual May”.
H*nda Astrea Grand hasil cicilan Mami tiap bulan itu dijual. Sejak Bapak
bangkrut dari usaha kerajinan sepatunya ketika aku masih kelas tiga SMA dahulu,
memang kondisi keuangan keluarga kami semakin terpuruk.
”Terus, Mami pergi ke sekolah naik apa, Pak?” ”Mami naik
angkot May. Bapak tidak bisa berbuat banyak. Semoga kita mendapatkan ganti
secepatnya” Kata-kata Bapak berikutnya tidak begitu terdengar jelas. Hanya
permintaannya agar aku bersabar yang tersisa di akhir pembicaraan kami malam
itu.
Sepeda motor itu, meskipun model lama, tetapi cukup setia
menemani kami. Dia yang kugunakan untuk belajar naik sepeda motor pertama kali
ketika aku masih kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Dengan sepeda motor itu, Bapak
mengantar dan menjemput Mami mengajar di Sekolah Dasar yang terletak di
pinggiran kota kecil di kaki Gunung Lawuku. Sepeda motor itu biasa kupakai
untuk mengambil kiriman makanan untuk keluargaku dari rumah Nenek di kelurahan
sebelah. Dan ternyata dia juga menolong keluargaku di saat-saat tersulit. Kata Bapak,
harga jual kembalinya lumayan. Cukup untuk mencoba usaha yang baru, mengirim
uang sakuku untuk beberapa bulan, uang gedung dan SPP, membayar uang sekolah
adikku dan masih tersisa untuk kondisi yang tak terduga.
Aku mencoba menata hati.
Mencari hikmah dan pertolongan. Kutelisik kembali labirin memori. Ingatanku
kembali tertuju pada mbah kakung1. Mbah kakungku dulu pasti juga mengalami saat-saat kehilangan sepertiku saat ini. Dulu,
saat aku duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama, Mbah Kakung juga
terpaksa menjual salah satu sepeda motor H*ndanya. Sepeda motor tipe Astrea berwarna merah. Model lama. Aku
lupa tipenya. Mungkin dulu dibeli ketika aku masih duduk di taman kanak-kanak.
Tahun delapan puluhan.
Seperti sepeda motor kami, sepeda motor itu juga telah
menemani Mbah Kakung selama bertahun-tahun. Mungkin ikatan hatinya lebih
erat. Sepeda motor itu dulu dipakai Mbah Kakung membeli bensin di POM
setiap hari. Pukul empat pagi, bahkan sebelum adzan subuh berkumandang. Dua
jurigen besar ditempatkan di tempat jurigen yang terbuat dari kantong beras
bekas buatan mbah uti2 di sisi kanan dan kiri bagian belakang
motor. Mungkin kapasitasnya sekitar lima puluh liter. Setelah itu, Mbah
Kakung pergi mengajar di STM Negeri di luar kota, yang berjarak sekitar
tiga puluh kilometer arah timur kota kami. Setiap hari. Mbah Kakung berangkat pagi-pagi sebelum
matahari terlalu tinggi. Jam lima lewat lima belas menit. Siangnya Mbah Kakung mengajar lagi di STM Swasta
di kota kami. STM yang dia dirikan bersama teman-teman di Yayasannya. Baru
malam hari, sepulang dari dari kios bensinnya, Mbah Kakung baru bisa
beristirahat, setelah istirahat pendeknya sehabis shalat Ashar.
Aktifitas ini berlangsung selama bertahun-tahun. Dan melekat erat di memoriku. Semangat kerja keras Mbah
Kakung. Sejak aku belum bersekolah sampai masa remajaku. Saat di mana aku
sudah bisa melihat sesuatu dan menilainya dengan cara pandangku.
Semuanya berhenti saat tiba-tiba Mbah Kakung sakit
dengan kandungan haemoglobin darah yang terus menerus turun jika tidak
ditransfusi. Ada yang bilang mbah kakung sakit Thalasemia, ada yang
bilang mbah kakung sakit Leukimia. Mbah
kakung harus ditransfusi setiap bulan. Jika tidak, haemoglobin Mbah Kakung akan terus berkurang dan kondisi
kesehatannya akan terus menurun.
Sebenarnya Mbah Kakung sudah ingin istirahat saja.
Tidak ingin ditransfusi. Akan tetapi, Mbah Kakung ingin
melihat om menikah. Akhirnya tiga bulan menjelang om menikah, Mbah Kakung
memutuskan untuk menjual jagoannya. H*nda Astrea itu. Untuk mempertahankan
hidupnya. Meraih keinginannya. Membahagiakan orang yang ada di sekitarnya.
Sekali lagi. H*nda menolong di saat-saat tersulit. Di masa sehatnya, H*nda
tangguhnya jarang rewel demi menemaninya bekerja keras mencari nafkah untuk
keluarganya. Di masa sakitnya, H*nda menjadi iinvestasi nyata yang bisa
diandalkan. Mungkin tanpa disadari, H*nda memang telah menemani Mbah Kakung
sebagai sahabat. Sahabat pilihan bagi orang-orang pilihan seperti mbah kakung. Mbah
Kakung pasti sedih berpisah dengan sahabat yang telah menemaninya sejak
lama.
Sejenak hatiku terhibur. Kulebur diriku bersama semangat Mbah
Kakung. Dan ternyata hidupku kembali. Dengan semangat, doa dan harapan.
Seperti kata Bapak, aku boleh menyelipkan doa agar kami mendapatkan ganti yang
lebih baik dari sepeda motor kami yang
telah berpindah tangan.
Doaku terjawab dengan diterimanya aku bekerja paruh waktu
di sebuah swalayan yang tidak jauh dari kampusku pada semester kedua kuliahku. Dengan
sisa semangat dan harapan yang masih kupunya, aku mencoba untuk bekerja,
membantu perekonomian keluarga dengan membiayai kuliahku sendiri. Dengan
begitu, kuharap Mami bisa menabung dan kembali membeli ganti H*nda Astrea kami.
Keadaan di rumah membaik. Setelah mengumpulkan uang
beberapa lama, Mami bisa membeli sepeda motor H*nda Astrea Star bekas keluaran
tahun 1988. Tidak terlalu buruk kondisinya. Sedangkan Bapak mendapat pekerjaan
untuk memasarkan satu merk rokok. Bapak mendapat pinjaman sepeda motor dari
pabrik. Alhamdulillah, Mami tidak perlu lagi naik angkot ke sekolah.
Di Malang, kondisiku juga semakin membaik. Selain
mendapat gaji dari pekerjaanku, ternyata aku juga mendapat beasiswa yang
semakin meringankan langkahku. Anganku melambung lagi. Aku ingin menabung.
Memiliki sepeda motor sendiri adalah impianku. Apalagi ketika perjalanan tempat
kerja ke kampusku lumayan memakan energi jika kutempuh dengan berjalan. Jika
naik kendaraan umum, tentu akan sedikit terasa di dompetku.
Saat kuutarakan niatku pada Bapak, Bapak melarangku
membeli motor sendiri. Beliau mengharapkan aku bsa menabung untuk masa depanku.
Jadi, Bapak berjanji akan memperbaiki sepeda motor yang dibeli oleh Mami dan
akan mengirimkannya ke Malang untukku.
Bagian yang paling seru adalah saat kita memberi nama motor
butut baruku itu saat. Kata bapak disuruh menamai Kebo Giro, katanya Kebo Giro
itu tumpangan tokoh pewayangan entah siapa namanya. Tapi mami tidak setuju.
Katanya lebih baik dinamai Lembu Andini. Katanya lebih feminin, tapi kupikir
nama itu terlalu panjang. Kata adikku lebih baik dinamai Buroq,
tumpangan Rasulullah. Jadi bingung akhirnya. Tapi tiba-tiba mami nyeletuk lebih baik dinamai Lotus saja. Kata
mami, Lotus itu artinya Teratai. Bunganya indah dan tangguh. Kalau lihat di
film Kera Sakti, Lotus itu tumpangan Dewi Kwan In. Kata Mami,”Mbak May kan
mukanya agak mirip sama Dewi Kwan In!” Ah, mami bisa saja. Tapi akhirnya kami
sepakat menamainya Lotus.
30 November 2006. Tepat di hari ulang tahunku ke 22.
Bapak mengantarkan Lotus sendiri ke Malang. Mengendarainya sendirian dari
kotaku di Lereng Gunung Lawu di ujung barat Jawa Timur sampai ke Malang,
tempatku menuntut ilmu. Aku agak kaget melihat kenyataan bahwa ternyata Lotus tangguh
juga. Aku mengira Bapak mengirimnya lewat pos atau jasa penitipan, tapi
ternyata tidak. Lotus tua masih cukup tangguh di tangan penjelajah jalanan
seperti Bapak. Sampai saatnya Lotus tiba di Malang, aku merasa Lotus tua
terlihat lebih istimewa. Ada cinta Bapak dan harapan orang rumah di sana. Ah,
Lotus. Andai manusia, pasti akan kupeluk engkau.
Lotus, meskipun modelnya antik, tidak seperti punya
teman-teman di kampus yang keluaran terbaru, tapi itu cukup bagiku. Membuatku
semakin semangat berjuang. Lotus sering menyelamatkan di saat detik-detik
terakhir jam mulai kuliahku. Lotus menemaniku berjalan-jalan di kota Malang.
Saat aku butuh buku di Pasar Buku Bekas ‘Wilis’, saat aku berangkat rapat di
pagi hari, saat aku mengantar teman sekelasku pulang ke kosnya. Bahkan saat aku
merasa cemas dan mempunyai beban yang tidak bisa kubagi, aku bercerita kepada
Lotus seperti bercerita kepada buku harian atau kepada mami. Hal itu terkadang
kurasa lebih membuatku nyaman, karena Lotus tak akan menertawakanku.
Kadang-kadang aku memang berlebihan.
Lotus siap menemaniku di pagi, siang dan malam hari. Kata
teman kerjaku, Lotus itu tidak seperti P*sodent yang setia dua belas jam, Ba*gon yang setia dua
puluh empat jam, H*t yang setia empat puluh delapan jam, tapi Lotus itu
seperti Rex*na yang setia setiap saat. Dasar pegawai swalayan,
semuanya dikaitkan dengan barang dagangan! Temanku memang paling bisa jika
mengolok-olok kedekatanku dengan Lotus.
Sering ketika akan menghidupkan mesinnya, dan Lotus agak
bandel, pasti akan kuelus kepalanya (aku selalu menganggap spedometer Lotus itu
kepalanya!). Dan bisa dipastikan tukang parkir di swalayan tempat aku bekerja
tergelak dan menggelang-gelengkan kepalanya.
Pernah suatu kali aku kecewa dengan Lotus. Dia mogok
tiba-tiba. Aku bingung harus
berbuat apa. Sebagai seorang gadis, aku tidak terlalu familiar dengan hal-hal
yang bersangkutan dengan mesin. Aku diam saja dan mengingat-ingat, apa yang
dilakukan Bapak atau Adik laki-lakiku jika sepeda motor kami di rumah mogok. Aku
mulai mengecek bensinnya. Tapi seingatku aku baru saja mengisinya dan Lotuspun
tidak boros dalam hal bensin. Aku bingung. Sampai akhirnya tukang parkir yang
ada di lapangan parkir gedung kuliahku datang untuk menolong. Sejurus kemudian
tukang parkir memeriksa Lotus. Setelah mengidentifikasi selama beberapa saat,
tukang parkir tersebut mengatakan bahwa busi Lotus kotor. Dengan sedikit
sentuhan, Lotus bisa dihidupkan kembali. Dari pengalaman tersebut, aku menjadi
sadar bahwa tidak boleh hanya sekedar sayang kepada Lotus, tetapi harus tetap
melakukan prosedur perawatan secara berkala. Karena prosedurnya tidak terlalu
rumit, aku yakin aku bisa melakukannya sendiri kelak.
Aku bersyukur karena Lotus mudah untuk diperiksa dan
diperbaiki. Kemarin, terakhir aku mengambil barang dengan kendaraan swalayan,
rumit sekali untuk memperbaiki kendaraan itu
ketika rewel. Kebetulan swalayan
kami memiliki kendaraan roda dua yang mempunyai merk di luar H*nda. Kendaraan
tersebut sering sekali rewel, apalagi di musim hujan seperti sekarang ini. Setelah dipakai ketika hari hujan, setelah itu susah
untuk distarter. Ketika mas di bengkel sebelah swalayan kami akan melihat
businya, ternyata harus membongkar banyak mur dan baut di bagian depan
kendaraan tersebut. Hanya untuk mengecek busi. Diperlukan waktu yang lama dan
biaya yang semakin mahal. Kegiatan swalayan menjadi terganggu. Swalayan tidak
bisa mengambil dan mengantar barang serta melakukan setoran uang ke bank. Aku
teringat Lotus dan tersenyum.
Segera saja kuusulkan untuk memakai Lotus. Meskipun
modelnya tidak terlalu keren dan sering menjadi bahan ejekan, akan kubuktikan
bahwa Lotus bisa menjadi pahlawan di saat-saat tersulit kami. Dan sekali lagi, H*nda
menyelamatkan.
Lotus juga mengingatkanku kepada sahabatku. Sahabatku di
tempat kerja. Sahabat yang selalu menguatkanku. Kami sering mengambil dan mengantar
barang bersama dengan menggunakan Lotus setelah kejadian itu. Salah satu
langganan kami adalah kantin MPM Malang. Aku lupa singkatannya. MPM adalah agen
penyalur resmi terbesar merk H*nda yang berada di Malang.
Setiap mengantarkan barang ke sana, aku selalu mempunyai
keinginan untuk memperbaiki Lotus suatu saat nanti, karena di sana juga ada
banyak orang yang memperbaiki motornya. Kadang aku dan temanku selalu berkhayal
jika Lotus menjadi peserta Pimp My Ride yang tayang setiap hari minggu
siang di MTV itu. Pasti Lotus akan tampak keren. Jadi tidak akan ada yang
mengejek Lotus lagi. Temanku selalu sependapat dan kita tergelak bersama. Kami
selalu saja berharap, mungkinkah mas-mas di MPM itu suatu saat akan berkenan
melakukan make over pada Lotus. Sekali lagi kami tergelak bersama.
Demikianlah hari-hariku kulalui dengan Lotus. Sekarang,
tidak hanya teman sekerjaku yang mengenal Lotus, akan tetapi atasanku dan
teman-temanku di organisasi dan di kampus juga telah mengenal Lotus. Dengan
Lotus, mobilisasiku menjadi tinggi. Setiap hari, aku semakin produktif. Aku
bisa berada di bank pada jam delapan pagi untuk setoran uang ke bank, sekaligus
mengirim barang pada langganan, lalu menghadap dosen pada pukul sebelas siang.
Ketika banyak temanku bertanya apakah aku tidak lelah
dengan segala rutinitasku setiap hari, aku tahu jawabannya dengan pasti. Aku
akan berusaha untuk jarang lelah. Kalaupun aku lelah pasti aku akan menjadi
kuat kembali. Karena aku mempunyai sahabat yang selalu setia menemani, sahabat
yang tidak pernah rewel dan menggerutu ketika kuajak bekerja keras, sahabat
yang menemaniku meretas mimpi, mencapai cita-citaku.
Sahabat yang selalu mengingatkanku pada indahnya kerja
keras dan sahabat. Sahabat yang selalu menghibur di saat lelahku. Sahabat yang mengingatkanku
pada harapan Mami. Sahabat yang mengingatkanku pada cinta dan sayang Bapak.
Sahabat yang bersemangat. Semangat yang lahir dari sang H*nda, tokoh ulet pembuatnya. Sahabat
yang bisa memantulkan dengan jelas wajah Mbah Kakung dengan gambaran kerja
kerasnya di hadapanku. Sahabat yang sama
dengan sahabat Mbah Kakung dahulu. Sahabat yang dipilih oleh Mbah Kakung. Sahabat
di saat sehat dan sakitnya. Dan pasti aku akan selalu merasakan energi itu melalui
tarikan gasnya, decitan remnya, sorot tajam lampunya dan tangguh mesinnya.
Kini kurasa, H*nda benar-benar menjadi sahabat dan
semangatku.
NB:
1. Mbah kakung =
kakek
2. Mbah uti (mbah putri) =
nenek
#Ditulis ketika ingin mengikuti lomba mengarang yang
diselenggarakan oleh H*NDA. Pas aku berusia 23 tahun. Berharap mendapat hadiah
utama berupa sepeda motor H*NDA, tapi sangat kecewa ketika telat satu hari
mengirim dari masa deadline-nya. Menangis darah. Hehe.
0 comments:
Post a Comment